Thursday, January 25, 2007

Cultuur Procenteen

Syamsul Ardiansyah
Peneliti dari Institute for National and Democratic Studies (INDIES)

Alkisah, setelah susah payah menaklukkan Pemberontakan Diponegoro, tahun 1829 Raja Willem III memerintahkan Johannes van den Bosch (1780-1844) untuk berangkat ke Jawa. Menunjuknya sebagai gubernur Jenderal yang memimpin seluruh tanah jajahan Kerajaan Belanda di seluruh dunia, yang menurut Pramoedya Ananta Toer (alm.) di “Jalan Raya Post” berpusat di Batavia. Sejak itu, dimulailah babak baru penindasan yang jauh lebih mengerikan; sistem tanam paksa.

Raja kaya yang kala itu masih dibelit utang-utang warisan VOC itu memerintahkan van den Bosch untuk menjadikan Jawa sebagai “gabus untuk Nederland mengapung”. Maklum, negeri mungil yang berada dibawah permukaan air laut itu terancam tenggelam. Tidak hanya secara fisik, melainkan juga secara politik. Utang-utang warisan VOC hanyalah salah satu beban yang mesti ditanggung kerajaan Belanda. Di luar utang masih ada beban-beban lain yang diwariskan oleh perang 80 tahun dan eksploitasi tirani fasis Lodewik Napoleon (1808-1811)—sepupu Napoleon Bonaparte—yang digenapi dengan Perang Jawa dan Perang Paderi itu sewaktu-waktu bisa menenggelamkan Kerajaan Belanda.

Van den Bosch bisa dikatakan beruntung. Dia datang ke Jawa pada saat rejim kolonial Belanda sudah relatif berhasil menundukkan perlawanan kaum feodal. Tidak seperti pendahulunya yang menghadapi rangkaian perang yang terjadi di berbagai penjuru negeri, urusan Van den Bosch di tanah Jajahan saat itu tinggal menyelesaikan Perang Paderi di Sumatera yang sudah mulai melemah. Di luar masalah itu, dia bisa fokus pada upaya-upaya lain, yakni menjalankan misi khusus untuk menciptakan sistem pengerukkan kekayaan nusantara secara efektif dan efisien.

Misi itu diberi tajuk “cultuur-stelsel”. Misi ini populer diingatan kita dengan nama “Sistem Tanam Paksa”, meski terjemahan harfiah dari kata “cultuur-stelsel” yang diambil dari bahasa Belanda adalah “cultivation system” (Inggris) dan “sistem penanaman” (Indonesia). Mengapa kita menerjemahkan “cultuur-stelsel” menjadi “sistem tanam paksa” karena memang pada praktiknya, sistem penanaman tanaman-tanaman komoditi ekspor (teh, kina, kopi, indigo, dll) itu dilakukan dengan penerapan pola pemaksaan yang efektif. Dalam tulisan ini, saya memilih menggunakan istilah “Sistem Tanam Paksa” untuk menjaga ingatan kita akan kejinya penindasan kolonial saat itu.

Melalui pola tersebut, van den Bosch dan aparatur kolonialnya memaksa petani menyerahkan seperlima lahannya untuk ditanami tanaman-tanaman komoditi. Penyerahan seperlima lahan pada saat itu berarti memaksa penyerahan seperlima tenaga kerja yang dimiliki dirinya dan keluarganya, yang juga berarti memaksa penyerahan seperlima dari secuil kemerdekaan yang masih dikuasainya sebagai “tani-hamba”. Singkatnya, sistem itu memang secara sistematis memaksa petani untuk menyerah.

Dalam asumsi van den Bosch, hasil kerja di atas luas seperlima lahan yang ditanami tanaman komoditi itu akan setara dengan jumlah pajak kepala (land-rente) yang sebelumnya dibebankan kepada setiap cacah petani. Logikanya, penyerahan seperlima lahan dan seperlima tenaga kerja itu adalah syarat untuk mendapatkan pembebasan dari kewajiban pajak.

Namun, penyerahan seperlima kemerdekaan itu barulah tahap awal. Pada gilirannya, tanah, tenaga, dan kemerdekaan yang harus diserahkan tidak lagi berjumlah seperlima. Di banyak daerah, petani dipaksa menyerahkan seluruh lahan, seluruh tenaga, dan seluruh sisa-sisa kemerdekaan, yang memaksanya hidup dalam keterbelakangan dan hampir sama buruknya dengan perbudakan. Selain itu, disamping telah menyerahkan seperlima lahan dan tenaganya, tidak sedikit petani yang masih dibebani kewajiban pajak tanah (land-rente) yang semestinya sudah dihapuskan.

Banyaknya penyelewengan yang dalam penerapan sistem tanam paksa itu rupanya membingungkan kalangan sejarawan. Beberapa sejarawan seperti Sartono Kartodirdjo (1993), MC. Ricklefs (2005), Robert van Niel (2002), dan Wertheim (1959) berkesimpulan bahwa tidak ada penerapan sistem yang konsisten. Masing-masing wilayah memiliki pola yang berbeda-beda, bergantung pada selera pejabat-pejabat lokal, mulai dari tingkat lurah, demang, hingga bupati. Karenanya, derajat penindasannya pun berbeda-beda. Sekali lagi, bergantung pada selera penguasa masing-masing daerah.

Namun, di antara perbedaan-perbedaan itu, ada suatu kesamaan yang hampir umum di semua tempat, yakni tingginya antusiasme dari pejabat-pejabat lokal untuk “menyukseskan” sistem tanam paksa. Oleh karenanya, Sistem Tanam Paksa yang diterapkan sejak 1830 sampai akhirnya dihentikan tahun 1870 karena dianggap menghambat ekspansi modal swasta Belanda di Indonesia itu telah menyumbangkan keuntungan yang bukan main besarnya.

Sartono Kartodirdjo (1993) memberikan contoh, pada tahun 1831 sampai 1834, Belanda mendapatkan keuntungan hampir mencapai 16 juta florins (mata uang Belanda saat itu). Pada tahun 1834 saja, keuntungan yang bisa dikantongi mampu mencapai f.10 juta. Bila dihitung secara rata-rata, antara tahun 1831-1840 keuntungan tahunan Belanda mencapai f9,3 juta. Pada dekade berikutnya, keuntungan tahunan yang mengalir ke kantong kerajaan Belanda meningkat menjadi f14,1 juta (Kartodirdjo, 1993; 312).

Selanjutnya M.C. Ricklefs (2005) melaporkan bahwa sebelum tahun 1850, cultuur stelsel telah menyumbang 19 persen bagi GDP Kerajaan Belanda. Kemudian antara 1850-1860, sumbangan Sistem Tanam Paksa bagi GDP Kerajaan Belanda meningkat menjadi 32 persen. Bahkan peningkatan itu masih terlihat antara tahun 1860-1866, ketika itu Sistem Tanam Paksa menyumbang hampir 34 persen bagi GDP Belanda. Tidak hanya itu, seluruh utang-utang VOC dan kerugian akibat Perang Jawa pun bisa dibayar lunas. Dalam catatan Ricklefs, selama 1831 sampai 1870 tidak kurang dari f 832 juta telah masuk mengisi kas kerajaan Belanda (Ricklefs, 2005; 266).

Apa kiat van Den Bosch dalam memompa motivasi para lurah, demang, hingga bupati shingga melahirkan “kesuksesan” Sistem Tanam Paksa? Kiatnya sederhana, yang dilakukan van den Bosch adalah membangun perangkat birokrasi yang mampu menjangkau level terendah dalam struktur masyarakat. Struktur birokrasi itu tidaklah rumit.

Jangan ditanya apakah ada kualifikasi atau pelatihan khusus bagi mereka yang didudukkan dalam perangkat birokrasi tersebut. Sebab jawabannya jelas, tidak ada. Satu-satunya keterampilan yang dibutuhkan van den Bosch hanyalah kemampuan untuk memobilisasi petani untuk menyerahkan tanah dan bekerja demi kepentingan tanam paksa. Mereka bisa berasal dari kalangan mana saja, bisa dari kalangan bangsawan, ulama, atau jawara. Pada level yang paling rendah—pada tingkat desa—biasanya diangkat jawara-jawara yang jago berkelahi. Jelas, mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bagaimana menjalankan pemerintahan menurut prinsip-prinsip good governance atau clean government seperti yang digembar-gemborkan sekarang ini.

Bagaimana van Den Bosch dan penerusnya mengikat loyalitas aparat birokrasi, khususnya dari kalangan pribumi untuk tetap bekerja di bawah demi Sistem Tanam Paksa? Jawabnya sederhana, dengan cara membagi sebagian keuntungan Sistem Tanam Paksa yang diatur dalam sebuah sistem yang disebut dengan “cultuur procenteen” atau bisa disebut dengan “prosentase (bagi) hasil tanaman”. Cara ini sebenarnya modifikasi dari sistem penyerahan wajib (verplichte leveranties) dan wajib kerja (pancendiensten) yang sesungguhnya mengakar kuat dalam sistem produksi feodalisme di Indonesia, khususnya di Jawa.

Sistem ini bekerja dengan cara menyatakan sekian persen dari total produksi dan penjualan produk tanaman komoditi yang dihasilkan suatu daerah akan menjadi hak yang bisa dimiliki oleh para pejabat baik pribumi maupun pejabat Eropa yang mengepalai daerah tersebut. Metamorfosa dari sistem ini masih kerap kita temui pada saat ini, melalui istilah “komisi” atau “persenan”. Secara umum, istilah itu dipahami sebagai “hak” yang bisa dimiliki oleh pihak perantara (calo) yang ditentukan berdasarkan prosentase tertentu atas total nilai transaksi antara pihak penjual dengan pembeli.

Demikian pulalah sistem cultuur procenteen itu bekerja. Jajaran birokrasi mulai dari lurah, demang, wedana, bupati, atau controleur, asisten residen, residen, bahkan sampai gubernur jenderal, pada hakikatnya berperan sebagai perantara mengisi rantai distribusi yang menghubungkan petani sebagai produsen dengan perusahaan milik kerajaan Belanda (Netherlandsche Handels Mattschpijj/NHM) yang sejak 1824 telah disiapkan menjadi pihak yang memonopoli pembelian tanaman dan penyediaan bibit tanaman. Pada gilirannya, NHM pun menjadi pedagang perantara ketika menjual tanaman-tanaman komoditi itu di pasar Eropa.

Efek dari penerapan sistem ini adalah memacu seluruh jajaran birokrasi untuk memompa produksi setinggi mungkin, dengan cara memperluas lahan komoditi semaksimal mungkin, dan memobilisasi tenaga kerja yang sebanyak mungkin. Di samping itu, dampak lain yang juga nyata adalah korupsi. Sudah merupakan hal yang lazim bila loyalitas antar jajaran birokrasi itu tidak lebih dari loyalitas sesama penipu. Dalam sistem seperti itu, “penipu” yang paling jago menipulah yang akan memimpin barisan penipu itu.

Mulai dari level terbawah, petani yang masih diikat dalam kultur nrimo ditipu habis-habisan oleh lurah-lurah mereka sehingga upah tanam (plantloon) yang diterima petani bisa dimanipulasi dan ditekan serendah mungkin. Kemudian lurah-lurah itu menipu demang yang suka menipu bupati yang juga lihai menipu residen yang juga tidak kalah pintar dalam menipu gubernur jenderal yang juga sebenarnya menjadi penipu terbesar. Jadilah, jajaran birokrasi kolonial menjadi tidak lebih dari jajaran penipu yang terstruktur dan menggurita ke seluruh penjuru negeri. Ketika korupsi dan gurita rente-percaloan menjadi jiwa yang menguasai birokrasi di seantero negeri, malanglah nasibnya Pertiwi? Mengerikan.

Sistem cultuur procenteen berikut berbagai dampaknya telah menjadi candu di jajaran birokrasi. Semakin sering menghisapnya, semakin besar ketagihan yang dibuatnya. Candu yang nikmatnya tidak hanya membius kesadaran para bupati berikut pangrehnya, melainkan juga mengecilkan volume otak yang menumpulkan akal sehat, membutakan mata, dan membuat tuli telinga. Dengan candu itulah, pemerintah kolonial yang dibantu dengan kalangan aristokrat pribumi mengubah Pulau Jawa menjadi neraka yang menyiksa rakyat, khususnya kaum tani.

Bila kali ini kita risau dengan penyakit korupsi yang sangat akut dalam tubuh birokrasi, barangkali fenomena cultuur procenteen adalah salah satu pilar historisnya. Masalahnya, bila sinyalemen itu benar, berarti benar pula dugaan atau asumsi yang menyatakan bahwa di negeri ini tidak ada keterputusan sejarah antara situasi hari ini dengan masa kolonialisme dulu. Dengan begitu, maka sistem politik hari ini adalah kelanjutan dari fondasi politik yang diletakkan kolonialisme.

Sekarang, bayangkan apa yang akan terjadi bila seseorang yang sudah berpuluh-puluh tahun kecanduan—sebut saja kecanduan putaw—ketika dipaksa berhenti menghisap putaw? Jawabnya kita semua tahu; sakaw. Harus diingat, hampir mustahil bila orang yang sudah akut kecanduan jenis narkoba apapun, bisa menyembuhkan penyakit itu dengan sendirinya. Selalu butuh bantuan orang lain untuk menyembuhkannya. Satu-satunya cara penyembuhan penyakit jiwa semacam itu adalah dengan rehabilitasi total, atau mungkin, kita bisa menyebutnya dengan istilah “revolusi”. Bila tidak, selama sisa hidupnya, orang itu tidak akan lebih dari sekadar sampah.

Kini “sampah-sampah” bila dikumpulkan satu persatu mungkin gunungannya bisa melebihi tingginya Semeru di Jawa Timur atau Puncak Jaya di Papua. Bisa jadi, itu yang membuat Merapi marah-marah dan bencana di mana-mana. Sayangnya, sampah-sampah itu masih tercecer di mana-mana. Mengotori meja-meja birokrasi dan kursi-kursi anggota Dewan. Namun polusi udara yang disebabkan oleh bau-busuknya sudah sangat menyengat. Polusi itu kini telah banyak menyebabkan radiasi yang merusak mata, telinga, bahkan pada sel-sel otak rakyat dan hati para pejabat.

Entah seperti apa TPA yang dibutuhkan untuk menampung “sampah-sampah” seperti itu. Mungkin seperti TPA yang panas di Leuwigajah atau justru Taman Makam Pahlawan yang teduh seperti di Kalibata dan Cikutra. Saya sendiri belum mampu membayangkannya saat ini. Terima kasih dan Wassalam.***


Syamsul Ardiansyah
Jakarta, 7 Juni 2006